TERBARU

Rabu, 15 Februari 2012

16 Tangkai Mawar Kuncup Merah


       Setiap hari raya adalah hari yang selalu berkesan untukku. Semua perjalanan di hari raya adalah anugrah untuk mewarnai hidupku. Besok adalah Hari Raya Galungan, dan aku selalu sibuk mempersiapkan semuanya bersama keluarga besarku. Itu adalah hari yang selalu aku tunggu-tunggu, dimana semua keluarga pulang dan berkumpul bersama dalam suasana keceriaan.
Bagiku hari raya bukan sekadar keceriaan berkumpul bersama keluarga, melainkan lebih dari itu. Karena setiap hari raya ada seorang anggota keluarga yang selalu aku tunggu kedatangannya. Namanya Arya, dia adalah sahabat karibku sejak kecil yang sangat mengerti semua tentang aku. Setiap hari raya kami selalu meluangkan waktu untuk bersama sembari bercerita tentang sebuah kisah, entah itu tentang sekolah, keluarga, teman, cinta ataupun tentang kami.
        Setiap waktu yang ada selalu kami manfaatkan sebaik mungkin. Pasalnya semenjak keluarganya pindah ke luar kota kami hanya bisa menghabiskan waktu bersama di hari raya. Setiap pergi bersama tempat yang selalu kami datangi adalah pohon ketapang yang kini sudah tua di dekat rumah kami. Bagi kami itu adalah markas yang menyimpan segudang kenangan dari pertama kami bersahabat hingga saat ini.
         Hari Raya Galungan kali ini menjadi hari raya yang amat spesial untuk kami. Karena Hari Raya Galungan kali ini bertepatan dengan hari persahabatan kami yang ke-10. Biasanya saat ulang tahun persahabatan kami bertukar hadiah kecil. Belum lagi seminggu setelah Galungan adalah hari ulang tahunku yang ke-16. Betapa senangnya hatiku, hingga setiap malam aku selalu bermimpi saat ulang tahun nanti aku akan melewati hari bersama dengan sahabatku itu.
       Saat Hari Raya Galungan, tak seperti biasanya aku terbangun sebelum jam alarmku berbunyi. Mungkin karena hari raya kali ini begitu aku tunggu-tunggu. Setelah semua kegiatan persembahyangan usai, aku dan dia mengatur acara tahunan kami. Sama seperti tahun lalu, aku dan dia pergi bersama ke markas. Disana kami bercerita tentang banyak hal, dan puncaknya adalah saat kami bertukar hadiah. Aku memberikannya sebuah kunci berukir dengan gantungan pita berwarna merah. Kebetulan kami sama-sama menyukai warna merah. Dan dia memberikanku sebuah lonceng kecil dengan gantungan pita berwarna merah juga.
      “Aku mau kau menyimpan kunci ini, dan selalu kau bawa kemanapun kau pergi. Anggaplah sekarang kunci ini adalah simbol dari dirimu. Jagalah baik-baik seperti kau menjaga dirimu,” kataku pada Arya.
        Dia hanya tersenyum sambil menatap mataku, seolah dia ingin berkata sesuatu namun tertahan dalam benaknya. Aku mencoba untuk meramaikan suasana, karena entah mengapa saat itu suasana terasa begitu sunyi.
         “Kenapa hanya tersenyum?” aku mengawali bertanya.
         “Aku..aku ingin kau tahu sesuatu. Tapi aku takut kau marah,” katanya dengan ragu.
         Mendengar dia berbicara seperti itu aku merasa ada sesuatu yang aneh. Seketika terasa ada yang menghujam jantungku. Tapi aku mencoba tetap tenang dan tersenyum, kemudian melanjutkan pembicaraan.
    “Ada apa? Cerita saja. Tidak ada yang kita tutup-tutupi selama ini kan?” aku mencoba membujuknya untuk berbicara.
       Sesaat Arya terdiam. Raut wajahnya tak bisa ditebak apakah berita yang akan dia sampaikan.  Dan akhirnya dia mulai berbicara.
     “Sasya, ayahku dipindah tugaskan ke Dubai dan mungkin aku akan ikut dengan ayah.” dia berbicara sambil memalingkan wajahnya.
         “Kapan kalian akan pindah? Kenapa mendadak seperti ini?” tanyaku.
         “Maaf Sya, ini tidak mendadak. Hanya saja aku baru berani mengatakannya padamu. Setelah ini aku akan lebih jarang lagi untuk pulang kemari. Kami akan berangkat empat hari lagi,” kata Arya.
        Dia mencoba menjelaskan semuanya. Mencoba untuk membuatku mengerti tentang keadaan saat itu. Namun hatiku terlanjur kecewa. Aku tak mampu membendung kesedihanku. Mataku berkaca-kaca saat itu, ingin sekali rasanya aku menangis tapi jika sampai aku menangis mungkin semuanya akan menjadi lebih buruk lagi.
      “Tapi, apa tak bisa kau menunggu sebentar saja? Tolong tunggu sampai hari ulang tahunku. Arya.. kau sudah berjanji padaku, kita akan merayakan bersama ulang tahunku kali ini, di tempat ini. Kau lupa?” kataku.
         “Sya… mana mungkin aku lupa janjiku. Aku pasti datang. Pasti! Tapi tolong kau percaya dulu padaku, percaya aku akan datang hari itu,” jawabnya sambil tersenyum.
         Kami saling terdiam, seolah menyembunyikan tangisan masing-masing. Tak aku sangka hari yang aku tunggu-tunggu menjadi seperti ini. Aku kecewa setengah mati. Terasa sedang melayang di langit ketujuh kemudian terhempaskan ke neraka terbawah. Dalam benakku hanya terbayang hari ulang tahun yang kelabu tanpa Arya. Lalu Arya mencoba menenangkanku lagi.
           “Lihat lonceng ini Sya,” kata Arya sambil mengangkat lonceng pemberiannya.
         “Aku berikan lonceng ini untukmu, untuk kau gantung di depan jendela kamarmu. Mungkin aku memang akan pindah, tapi perlu kau tahu hubungan persahabatan kita ini akan tetap berjalan. Kalau nanti lonceng ini berbunyi artinya aku disana sedang merindukanmu. Saat itu datanglah ketempat ini, kenanglah semua kenangan kita. Jangan lupa Sya, aku akan selalu ada untukmu walaupun ragaku jauh disana,” kata Arya padaku.
        Sesaat kata-kata itu menenangkan hatiku. Aku mencoba untuk tidak memperburuk keadaan. Tapi sejujurnya aku tak bisa memungkiri, betapa kecewanya aku saat itu. Aku memutuskan untuk mengakhiri pembicaraan hari itu. Aku pulang dengan rasa kecewa sambil menahan tangisanku yang mulai tak terbendung lagi.
           “Semuanya berakhir,” kataku dalam isakku sambil berlari meninggalkan tempat itu. 
        Sayup-sayup kudengar Arya memanggil namaku. Seolah saat itu aku menutup mata dan menutup telinga atas apa yang telah terjadi. Meski tahu dia mencoba mengejarku, tapi hatiku tak bergeming. Aku terus saja berlari dan berusaha tidak menoleh ke arahnya. Aku takut saat aku menoleh kearahnya, itu semakin meyakinkanku bahwa ini bukanlah mimpi.
       Dihari keberangkatan keluarganya aku memilih untuk pergi ke markas dibandingkan harus mengantar kepergiannya ke airport. Hari itu aku masih sangat berharap semua ini hanyalah mimpi. Tapi sampai hari mulai gelap tak juga aku lihat sosok Arya datang. Dan itu memaksaku untuk mengakui bahwa semuanya telah benar-benar berakhir.
       Sehari sebelum hari ulang tahunku lonceng pemberiaan Arya berbunyi. Aku ingat dengan kata-katanya. Setelah sempat berpikir berulang kali, dan akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke markas. Berharap dia ada disana dan sedang merindukanku. 
           “Bodoh! Mana mungkin dia datang. Lonceng berbunyi? Bodohnya aku percaya semua lelucon itu,” kataku memaki diriku sendiri.
Setelah sempat lama menunggu aku pun kembali pulang dengan kekecewaan yang semakin dalam. Saat itu aku memutuskan untuk tidak lagi menghiraukan lelucon lonceng berbunyi. Dan lagi-lagi terbayang dalam benakku hari esok yang kelabu.
Menunggu pagi datang, aku tak dapat tidur dengan nyenyak. Berkali-kali aku terbangun dan melihat jam di dinding. Meski merasa kecewa berat, tapi dalam hati kecilku masih sangat berharap hari ini Arya akan datang.
Hari ulang tahun yang tak seperti biasanya. Hari itu hatiku sangat was-was menunggu lonceng berbunyi. Dengan gerak yang terbatas aku mencoba menenangkan diri ini. Dan  akhirnya.
“Ting..ting..ting..ting”. Suara lonceng itu berbunyi dengan perlahan karena tertiup angin pagi. Hatiku mulai gelisah. Berulang kali aku mondar-mandir di depan jendela kamar. Lalu aku kunci rapat pintu kamarku dan aku tutup jendela kamarku.
“Tidak..tidak! Aku tak akan kemana-mana. Itu hanya lelucon, aku tak akan pergi kemana-mana. Tidak untuk kedua kalinya,” kataku mencoba melawan hati kecilku.
Tak lama setelah aku menutup jendela kamarku, lonceng itu berhenti berbunyi. Tapi hatiku masih saja cemas. Aku mencoba untuk tetap tenang dan berbaring sejenak sambil menutup telinga dengan bantal tidurku. Dengan mata tertutup masih kudengar suara lonceng itu berbunyi. Padahal tak ada angin yang berhembus saat itu. Sekuat hati aku mencoba untuk tetap menutup mata dan tidak menghiraukan suara lonceng itu.
Sangat lama aku mencoba tak acuh dengan suara lonceng itu. Tapi suara itu semakin cepat dan keras terdengar. Jantungku pun mulai berdebar kencang, seolah aku dengar Arya memanggil namaku. Dan akhirnya aku tak tahan lagi. Aku buka mataku, dan aku buka jendela kamarku. Ternyata benar, lonceng kecil yang aku gantung di depan jendela kamarku memang sedang berbunyi. Entah apa yang aku pikirkan saat itu, meski langit sudah mulai memerah, yang aku tahu aku harus segera pergi ke markas. Karena jika tidak aku akan semakin tersiksa. Masa bodoh dengan rasa kecewa yang pernah aku rasakan. Lalu dengan menggenggam puing harapan yang tersisa dalam hatiku, aku berlari menuju markas itu.
Baru aku sampai di dekat pohon ketapang itu, langkahku terhenti seketika. Dengan nafas yang masih terengah-engah aku berjalan perlahan menuju tepat ke bawah pohon ketapang itu. Namun, alangkah tercengangnya aku melihat sebuah pita merah tergeletak begitu saja di antara daun-daun kering yang telah gugur. Aku pun mulai mendekatinya. Aku singkirkan daun-daun kering itu, dan ternyata benar. Itu adalah kunci berukir milik Arya yang aku berikan seminggu lalu.
Aku usap-usap kunci itu dengan tanganku. Tanpa aku sadari telah menetes sebuah air mata di pipi kiriku. Kemudian dengan menggenggam erat kunci itu di tanganku, aku berjalan perlahan menuju ke balik pohon ketapang itu. Dan ternyata, dibalik pohon ketapang itu telah ada bunga mawar merah sebanyak enam belas tangkai yang diikat dengan pita berwarna merah. Melihat bunga itu mengingatkanku pada Arya. Tentu saja, siapa lagi selain dia yang tahu bunga kesukaanku, dan siapa lagi selain dia yang mau melakukan semua ini untukku.
Aku mencoba untuk mengusap-usap pipiku yang basah karena air mata yang tak hentinya menetes. Kakiku yang awalnya mampu melangkah dengan perlahan, seketika terasa gemetar saat berdiri. Perlahan aku jatuhkan lututku ke tanah. Kemudian sambil memeluk bunga mawar merah yang telah mekar itu, aku sandarkan tubuhku di pohon ketapang itu. Diantara bunga mawar itu aku temukan sepucuk surat berwarna putih yang telah kotor terkena debu. Dan aku pun mulai membaca surat yang Arya selipkan pada bunga itu. Dalam suratnya Arya berkata padaku.
“Untuk Sasya. Hari ini aku turut berbahagia atas bertambahnya usiamu. Meski tak mampu bertatap mata, aku yakin saat menerima bunga dan surat dariku kau sedang menangis bahagia. Sasya… kau tahu satu hal? Bunga mawar yang masih kuncup ini tak akan mudah layu meski dia harus menunggu sendirian dibalik sepi. Kelopaknya yang merah merona tak akan begitu saja gugur meski dia harus terjaga sendirian dibalik kerinduan. Dan semerbak wanginya tak akan hilang begitu saja meski penantianya harus berakhir kekosongan. Itulah kenapa aku hadiahkan mawar kuncup ini untukmu, berharap seperti itulah nantinya persahabatan kita. Meski aku telah lama menunggu disini, aku tak menyesal sedikit pun melakukan semua ini untukmu. Karena aku yakin kau pasti datang, meskipun setelah aku pergi dari tempat ini. Sasya… kini aku pergi, aku persilahkan kau untuk memilih. Untuk tetap menanti dan menjaga persahabatan ini atau kau akan pergi. Karena aku pun telah memiliki jawaban untuk diriku sendiri, bahwa aku akan tetap menikmati detik demi detik untuk menjadi sahabat karibmu dan menjaga persahabatan kita ini hingga tarikan nafas terakhirku... Selamat ulang tahun sahabatku tersayang Sasya.”
Surat itu menyadarkanku, betapa berartinya arti persahabatan kami baginya. Seharusnya aku bisa menerima bunga itu langsung dari tangan Arya. Dan hingga hari mulai gelap aku masih saja menangis tersedu-sedu di balik pohon ketapang itu. Rasanya aku masih tidak rela untuk beranjak dari tempat itu. Aku belum rela meninggalkan masa yang seharusnya menjadi masa terindah dihari ulang tahunku saat itu.


Karya :: Dwayu Ariepd
Inspirasi :: 26'01'12

Tidak ada komentar:

Posting Komentar