Ketika petang menyembunyikan diri
Ketika mentari tengah kaya cahaya
bagai hidup dibara api dunia
nan panas menyesak raga
Kaki-kaki
mungilnya mulai berpijak
menuju keramaian kota
Hidupnya bertumpu pada belas kasih insan lain
Menjulurkan tangan demi setitik harapan
Hati kan diam
kiranya tangan penuh cinta memberi belas kasih
guna mempererat tali hidup yang kini kan lepas di depan mata
Sorak-sorai kata penuh
hina
selalu terngiang
ditelinga mungilnya
Tatap mata nan sinis tersudut
padanya
Terik mentari
deras air
langit
tak menghalau
langkahnya
Peluh
bercucuran pada pakain kusam
terbiasa menempel pada tubuh kecilnya
Tak banyak mata melirik
hanya hina dalam genggam hati fikirnya
sampah hidup tiada guna
Wajah air tuba
pembalut raga kusam
compang-camping
raga kecil nan
mungil
kurus tak
terurus
hanya itu bunga
emasnya
Surai bau keringat basah pada raganya
membuat semua penapak perut bumi jijik memandangnya
Ketika tiba
saatnya
peri-peri kecil
melompat penuh gelak tawa
ketika tiba
waktunya
insan kecil
tersiram hangat selimut cinta
ia harus
menjalin benang nasib pada dunia pana
meski takkan
memberi madu padanya
Bukanlah rahasia yang mesti diuntai
dari kapur perak
bukanlah kisah yang mesti dibingkai
kelopak tangkai bunga merak
bukan pula tuntutan mengangkat kaki
wajah
demi ballada budak dunia
Hanya putih hati yang mesti
dipaparkan
Baginya,
tersisihkan
hidup berdamping sisa alam
adalah anugerah
hidupnya
Sebuah tuntutan
bagi seorang tunas bangsa
memberi warna merah pada mentari
menggoreskan tinta hitam
pada lembar drama nasib
menyuarai boneka pertiwi
dengan rajukan suara hati
Karya : DAPD
inspirasi :: 10/2010