Setiap hari raya adalah hari yang selalu
berkesan untukku. Semua perjalanan di hari raya adalah anugrah untuk mewarnai
hidupku. Besok adalah Hari Raya Galungan, dan aku selalu sibuk mempersiapkan semuanya bersama keluarga besarku. Itu adalah hari yang selalu aku
tunggu-tunggu, dimana semua keluarga pulang dan berkumpul bersama dalam suasana
keceriaan.
Bagiku
hari raya bukan sekadar keceriaan berkumpul bersama keluarga, melainkan lebih
dari itu. Karena setiap hari raya ada seorang anggota keluarga yang selalu aku
tunggu kedatangannya. Namanya Arya, dia adalah sahabat karibku sejak kecil yang
sangat mengerti semua tentang aku. Setiap hari raya kami selalu meluangkan
waktu untuk bersama sembari bercerita tentang sebuah kisah, entah itu tentang
sekolah, keluarga, teman, cinta ataupun tentang kami.
Setiap waktu yang ada selalu kami
manfaatkan sebaik mungkin. Pasalnya semenjak keluarganya pindah ke luar kota
kami hanya bisa menghabiskan waktu bersama di hari raya. Setiap pergi bersama
tempat yang selalu kami datangi adalah pohon ketapang yang kini sudah tua di dekat
rumah kami. Bagi kami itu adalah markas yang menyimpan segudang kenangan dari
pertama kami bersahabat hingga saat ini.
Hari Raya Galungan kali ini menjadi
hari raya yang amat spesial untuk kami. Karena Hari Raya Galungan kali ini
bertepatan dengan hari persahabatan kami yang ke-10. Biasanya saat ulang tahun
persahabatan kami bertukar hadiah kecil. Belum lagi seminggu setelah Galungan
adalah hari ulang tahunku yang ke-16. Betapa senangnya hatiku, hingga setiap
malam aku selalu bermimpi saat ulang tahun nanti aku akan melewati hari bersama
dengan sahabatku itu.
Saat Hari Raya Galungan, tak seperti
biasanya aku terbangun sebelum jam alarmku berbunyi. Mungkin karena hari raya
kali ini begitu aku tunggu-tunggu. Setelah semua kegiatan persembahyangan usai,
aku dan dia mengatur acara tahunan kami. Sama seperti tahun lalu, aku dan dia
pergi bersama ke markas. Disana kami bercerita tentang banyak hal, dan puncaknya
adalah saat kami bertukar hadiah. Aku memberikannya sebuah kunci berukir dengan
gantungan pita berwarna merah. Kebetulan kami sama-sama menyukai warna merah.
Dan dia memberikanku sebuah lonceng kecil dengan gantungan pita berwarna merah
juga.
“Aku mau kau menyimpan kunci ini,
dan selalu kau bawa kemanapun kau pergi. Anggaplah sekarang kunci ini adalah
simbol dari dirimu. Jagalah baik-baik seperti kau menjaga dirimu,” kataku pada
Arya.
Dia hanya tersenyum sambil menatap
mataku, seolah dia ingin berkata sesuatu namun tertahan dalam benaknya. Aku
mencoba untuk meramaikan suasana, karena entah mengapa saat itu suasana terasa
begitu sunyi.
“Kenapa hanya tersenyum?” aku
mengawali bertanya.
“Aku..aku ingin kau tahu sesuatu.
Tapi aku takut kau marah,” katanya dengan ragu.
Mendengar dia berbicara seperti itu
aku merasa ada sesuatu yang aneh. Seketika terasa ada yang menghujam jantungku.
Tapi aku mencoba tetap tenang dan tersenyum, kemudian melanjutkan pembicaraan.
“Ada apa? Cerita saja. Tidak ada yang
kita tutup-tutupi selama ini kan?” aku mencoba membujuknya untuk berbicara.
Sesaat Arya terdiam. Raut wajahnya
tak bisa ditebak apakah berita yang akan dia sampaikan. Dan akhirnya dia mulai berbicara.
“Sasya, ayahku dipindah tugaskan ke
Dubai dan mungkin aku akan ikut dengan ayah.” dia berbicara sambil memalingkan
wajahnya.
“Kapan kalian akan pindah? Kenapa
mendadak seperti ini?” tanyaku.
“Maaf Sya, ini tidak mendadak. Hanya
saja aku baru berani mengatakannya padamu. Setelah ini aku akan lebih jarang
lagi untuk pulang kemari. Kami akan berangkat empat hari lagi,” kata Arya.
Dia mencoba menjelaskan semuanya.
Mencoba untuk membuatku mengerti tentang keadaan saat itu. Namun hatiku
terlanjur kecewa. Aku tak mampu membendung kesedihanku. Mataku berkaca-kaca
saat itu, ingin sekali rasanya aku menangis tapi jika sampai aku menangis
mungkin semuanya akan menjadi lebih buruk lagi.
“Tapi, apa tak bisa kau menunggu
sebentar saja? Tolong tunggu sampai hari ulang tahunku. Arya.. kau sudah
berjanji padaku, kita akan merayakan bersama ulang tahunku kali ini, di tempat
ini. Kau lupa?” kataku.
“Sya… mana mungkin aku lupa janjiku.
Aku pasti datang. Pasti! Tapi tolong kau percaya dulu padaku, percaya aku akan
datang hari itu,” jawabnya sambil tersenyum.
Kami
saling terdiam, seolah menyembunyikan tangisan masing-masing. Tak aku sangka
hari yang aku tunggu-tunggu menjadi seperti ini. Aku kecewa setengah mati.
Terasa sedang melayang di langit ketujuh kemudian terhempaskan ke neraka
terbawah. Dalam benakku hanya terbayang hari ulang tahun yang kelabu tanpa Arya.
Lalu Arya mencoba menenangkanku lagi.
“Lihat lonceng ini Sya,” kata Arya
sambil mengangkat lonceng pemberiannya.
“Aku berikan lonceng ini untukmu,
untuk kau gantung di depan jendela kamarmu. Mungkin aku memang akan pindah,
tapi perlu kau tahu hubungan persahabatan kita ini akan tetap berjalan. Kalau
nanti lonceng ini berbunyi artinya aku disana sedang merindukanmu. Saat itu
datanglah ketempat ini, kenanglah semua kenangan kita. Jangan lupa Sya, aku
akan selalu ada untukmu walaupun ragaku jauh disana,” kata Arya padaku.
Sesaat kata-kata itu menenangkan
hatiku. Aku mencoba untuk tidak memperburuk keadaan. Tapi sejujurnya aku tak
bisa memungkiri, betapa kecewanya aku saat itu. Aku memutuskan untuk mengakhiri
pembicaraan hari itu. Aku pulang dengan rasa kecewa sambil menahan tangisanku
yang mulai tak terbendung lagi.
“Semuanya berakhir,” kataku dalam
isakku sambil berlari meninggalkan tempat itu.
Sayup-sayup kudengar Arya memanggil
namaku. Seolah saat itu aku menutup mata dan menutup telinga atas apa yang
telah terjadi. Meski tahu dia mencoba mengejarku, tapi hatiku tak bergeming.
Aku terus saja berlari dan berusaha tidak menoleh ke arahnya. Aku takut saat
aku menoleh kearahnya, itu semakin meyakinkanku bahwa ini bukanlah mimpi.
Dihari keberangkatan keluarganya aku
memilih untuk pergi ke markas dibandingkan harus mengantar kepergiannya ke airport. Hari itu aku masih sangat berharap
semua ini hanyalah mimpi. Tapi sampai hari mulai gelap tak juga aku lihat sosok
Arya datang. Dan itu memaksaku untuk mengakui bahwa semuanya telah benar-benar
berakhir.
Sehari sebelum hari ulang tahunku
lonceng pemberiaan Arya berbunyi. Aku ingat dengan kata-katanya. Setelah sempat
berpikir berulang kali, dan akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke markas.
Berharap dia ada disana dan sedang merindukanku.
“Bodoh! Mana mungkin dia datang.
Lonceng berbunyi? Bodohnya aku percaya semua lelucon itu,” kataku memaki diriku
sendiri.
Setelah
sempat lama menunggu aku pun kembali pulang dengan kekecewaan yang semakin
dalam. Saat itu aku memutuskan untuk tidak lagi menghiraukan lelucon lonceng
berbunyi. Dan lagi-lagi terbayang dalam benakku hari esok yang kelabu.
Menunggu
pagi datang, aku tak dapat tidur dengan nyenyak. Berkali-kali aku terbangun dan
melihat jam di dinding. Meski merasa kecewa berat, tapi dalam hati kecilku
masih sangat berharap hari ini Arya akan datang.
Hari
ulang tahun yang tak seperti biasanya. Hari itu hatiku sangat was-was menunggu
lonceng berbunyi. Dengan gerak yang terbatas aku mencoba menenangkan diri ini.
Dan akhirnya.
“Ting..ting..ting..ting”.
Suara lonceng itu berbunyi dengan perlahan karena tertiup angin pagi. Hatiku
mulai gelisah. Berulang kali aku mondar-mandir di depan jendela kamar. Lalu aku
kunci rapat pintu kamarku dan aku tutup jendela kamarku.
“Tidak..tidak!
Aku tak akan kemana-mana. Itu hanya lelucon, aku tak akan pergi kemana-mana.
Tidak untuk kedua kalinya,” kataku mencoba melawan hati kecilku.
Tak
lama setelah aku menutup jendela kamarku, lonceng itu berhenti berbunyi. Tapi
hatiku masih saja cemas. Aku mencoba untuk tetap tenang dan berbaring sejenak sambil
menutup telinga dengan bantal tidurku. Dengan mata tertutup masih kudengar
suara lonceng itu berbunyi. Padahal tak ada angin yang berhembus saat itu. Sekuat
hati aku mencoba untuk tetap menutup mata dan tidak menghiraukan suara lonceng
itu.
Sangat
lama aku mencoba tak acuh dengan suara lonceng itu. Tapi suara itu semakin
cepat dan keras terdengar. Jantungku pun mulai berdebar kencang, seolah aku
dengar Arya memanggil namaku. Dan akhirnya aku tak tahan lagi. Aku buka mataku,
dan aku buka jendela kamarku. Ternyata benar, lonceng kecil yang aku gantung di
depan jendela kamarku memang sedang berbunyi. Entah apa yang aku pikirkan saat
itu, meski langit sudah mulai memerah, yang aku tahu aku harus segera pergi ke
markas. Karena jika tidak aku akan semakin tersiksa. Masa bodoh dengan rasa
kecewa yang pernah aku rasakan. Lalu dengan menggenggam puing harapan yang
tersisa dalam hatiku, aku berlari menuju markas itu.
Baru
aku sampai di dekat pohon ketapang itu, langkahku terhenti seketika. Dengan
nafas yang masih terengah-engah aku berjalan perlahan menuju tepat ke bawah
pohon ketapang itu. Namun, alangkah tercengangnya aku melihat sebuah pita merah
tergeletak begitu saja di antara daun-daun kering yang telah gugur. Aku pun
mulai mendekatinya. Aku singkirkan daun-daun kering itu, dan ternyata benar.
Itu adalah kunci berukir milik Arya yang aku berikan seminggu lalu.
Aku
usap-usap kunci itu dengan tanganku. Tanpa aku sadari telah menetes sebuah air
mata di pipi kiriku. Kemudian dengan menggenggam erat kunci itu di tanganku,
aku berjalan perlahan menuju ke balik pohon ketapang itu. Dan ternyata, dibalik
pohon ketapang itu telah ada bunga mawar merah sebanyak enam belas tangkai yang
diikat dengan pita berwarna merah. Melihat bunga itu mengingatkanku pada Arya.
Tentu saja, siapa lagi selain dia yang tahu bunga kesukaanku, dan siapa lagi
selain dia yang mau melakukan semua ini untukku.
Aku
mencoba untuk mengusap-usap pipiku yang basah karena air mata yang tak hentinya
menetes. Kakiku yang awalnya mampu melangkah dengan perlahan, seketika terasa
gemetar saat berdiri. Perlahan aku jatuhkan lututku ke tanah. Kemudian sambil
memeluk bunga mawar merah yang telah mekar itu, aku sandarkan tubuhku di pohon
ketapang itu. Diantara bunga mawar itu aku temukan sepucuk surat berwarna putih
yang telah kotor terkena debu. Dan aku pun mulai membaca surat yang Arya
selipkan pada bunga itu. Dalam suratnya Arya berkata padaku.
“Untuk Sasya. Hari ini aku turut berbahagia
atas bertambahnya usiamu. Meski tak mampu bertatap mata, aku yakin saat
menerima bunga dan surat dariku kau sedang menangis bahagia. Sasya… kau tahu
satu hal? Bunga mawar yang masih kuncup ini tak akan mudah layu meski dia harus
menunggu sendirian dibalik sepi. Kelopaknya yang merah merona tak akan begitu
saja gugur meski dia harus terjaga sendirian dibalik kerinduan. Dan semerbak
wanginya tak akan hilang begitu saja meski penantianya harus berakhir kekosongan.
Itulah kenapa aku hadiahkan mawar kuncup ini untukmu, berharap seperti itulah
nantinya persahabatan kita. Meski aku telah lama menunggu disini, aku tak
menyesal sedikit pun melakukan semua ini untukmu. Karena aku yakin kau pasti
datang, meskipun setelah aku pergi dari tempat ini. Sasya… kini aku pergi, aku
persilahkan kau untuk memilih. Untuk tetap menanti dan menjaga persahabatan ini
atau kau akan pergi. Karena aku pun telah memiliki jawaban untuk diriku
sendiri, bahwa aku akan tetap menikmati detik demi detik untuk menjadi sahabat
karibmu dan menjaga persahabatan kita ini hingga tarikan nafas terakhirku...
Selamat ulang tahun sahabatku tersayang Sasya.”
Surat
itu menyadarkanku, betapa berartinya arti persahabatan kami baginya. Seharusnya
aku bisa menerima bunga itu langsung dari tangan Arya. Dan hingga hari mulai
gelap aku masih saja menangis tersedu-sedu di balik pohon ketapang itu. Rasanya
aku masih tidak rela untuk beranjak dari tempat itu. Aku belum rela
meninggalkan masa yang seharusnya menjadi masa terindah dihari ulang tahunku
saat itu.
Karya :: Dwayu Ariepd
Inspirasi :: 26'01'12